بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Memerdekakan Budak (bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang memerdekakan budak, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Di antara hukum-hukum yang terkait dengan ‘itq
1.     Boleh berserikat (bersekutu) terhadap seorang budak laki-laki atau perempuan, yakni dengan dimiliki lebih dari seorang.
2.     Jika seseorang memerdekakan bagiannya pada budak yang dimiliki bersama, maka telah merdeka bagiannya itu dari budak tersebut.
Adapun  bagian sekutunya, jika orang yang memerdekakan itu kaya, maka ia hendaknya memerdekakan bagian milik sekutunya terhadap budak itu, dan dinilaikan bagian milik sekutunya, kemudian dibayarkan kepadanya. Tetapi jika orang yang memerdekakan itu kurang mampu, maka ia tidak memerdekakan bagian sekutunya, dan seorang budak yang bekerja sendiri untuk memperoleh harta senilai bagian sekutu ini, lalu ia memerdekakan dirinya setelah membayarnya, sehingga ia seperti mukatab. Dalil masalah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ، فَكَانَ لَهُ مَالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ العَبْدِ قُوِّمَ العَبْدُ عَلَيْهِ قِيمَةَ عَدْلٍ، فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ، وَعَتَقَ عَلَيْهِ العَبْدُ، وَإِلَّا فَقَدْ عَتَقَ مِنْهُ مَا عَتَقَ
“Barang siapa yang memerdekakan bagiannya pada seorang budak, sedangkan ia memiliki harta yang cukup untuk membayarkan harga budak (sisanya), maka budak itu dijumlahkan nilainya yang adil (tidak kurang dan tidak lebih), lalu ia berikan para sekutunya bagian mereka, dan menjadi merdekalah budak itu. Jika tidak memiliki, maka budak itu merdeka sesuai yang telah dimerdekakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
«مَنْ أَعْتَقَ نَصِيبًا – أَوْ شَقِيصًا – فِي مَمْلُوكٍ، فَخَلاَصُهُ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ، إِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ، وَإِلَّا قُوِّمَ عَلَيْهِ، فَاسْتُسْعِيَ بِهِ غَيْرَ مَشْقُوقٍ عَلَيْهِ»
“Barang siapa yang memerdekakan bagiannya pada seorang budak, maka pemerdekaannya dibebankan pada hartanya jika ia memiliki harta. Jika tidak, maka dijumlahkan nilainya, lalu budak itu diminta bekerja untuk memerdakan dirinya tanpa menyusahkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Zhahir hadits tersebut, bahwa hal itu dikembalikan kepada pilihan budak.
3.     Orang yang memerdekakan mewarisi semua harta orang yang ia merdekakan, tidak sebaliknya. Hal itu, karena orang yang dimerdekakan, wala'(kewarisan)nya untuk orang yang memerdekakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
“Wala’ itu untuk orang yang memerdekakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan wala’ seperti nasab, Beliau bersabda,
الْوَلاَءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ
“Wala’ adalah sepotong daging seperti sepotong daging nasab.” (HR. Syafi’i dalam Al Umm (1232), Hakim (4/241), dan ia menshahihkannya, Baihaqi (10/292), dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7157)
4.     Barang siapa yang memukul budaknya secara zalim, atau memukulnya dengan pukulan yang sangat keras[i], atau mencincangnya, atau memotong anggota badannya, dan sebagainya, maka hendaknya ia memerdekakannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ ضَرَبَ غُلَامًا لَهُ حَدًّا لَمْ يَأْتِهِ، أَوْ لَطَمَهُ، فَإِنَّ كَفَّارَتَهُ أَنْ يُعْتِقَهُ
“Barang siapa yang memukul budaknya terhadap perbuatan yang tidak dilakukannya atau menamparnya, maka kaffaratnya adalah dengan memerdekakannya.” (HR. Muslim)
Adapun jika pukulannya ringan dan hanya sebagai pelajaran (ta’dib) saja, maka tidak mengapa.
5.     Seorang budak menjadi merdeka ketika dimiliki oleh kerabatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ فَهُوَ حُرٌّ»
“Barang siapa yang memiliki budak yang merupakan kerabatnya, maka budak itu menjadi merdeka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
*****
Tadbir
Tadbir artinya menggantungkan merdekanya budak dengan kematian tuannya. Dikatakan,
دَبَّرَ الرَّجُلُ عَبْدَهُ تَدْبِيْرًا
Artinya: Seseorang membebaskan budaknya setelah matinya.
Mudabbar adalah budak yang mendapat tadbir. Disebut demikian, karena budak tersebut menjadi merdeka ketika tuannya telah meninggal.
Tadbir hukumnya boleh dan sah berdasarkan kesepakatan ulama. Dasarnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada salah seorang dari kaum Anshar yang memerdekakan budaknya setelah wafatnya, padahal ia tidak mempunyai harta selainnya, maka sampailah berita itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Siapakah yang mau membelinya dariku?” Lalu Nu’aim bin Abdullah membelinya dengan harga 800 dirham, kemudian Beliau menyerahkan uang itu kepadanya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Di antara hukum tentang tadbir:
1.     Boleh menjual budak mudabbar secara mutlak karena suatu keperluan, dan para Ahli Ilmu membolehkan menjualnya secara mutlak karena suatu keperluan atau lainnya berdasarkan hadits Jabir di atas.
2.     Budak mudabbar merdeka dari bagian harta yang berjumlah 1/3, bukan seluruhnya, karena hukumnya seperti wasiat, dan keduanya tidak diberlakukan kecuali setelah mati.
3.     Bagi tuannya boleh menghibahkannya, karena hibah seperti jaul-beli.
4.     Dibolehkan bagi tuan menjima’i budak mudabbarnya yang wanita, karena itu adalah budak miliknya. Allah Ta’ala berfirman,
“Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak terceIa.” (Terj. QS. Al Mu’minun: 6)
*****
Mukatabah
Mukatabah secara syara’ artinya pemerdekaan yang dilakukan seorang budak terhadap dirinya dari tuannya dengan membayarkan harta yang dibayar secara cicilan. Mukatabah disebut juga kitabah, karena tuannya menulis antara dirinya dengan budaknya sebuah tulisan yang disepakati bersama.
Budak yang hendak memerdekakan dirinya dengan menyerahkan harta kepada tuannya disebut mukatab.
Hukum mukatabah
Mukatabah hukumnya boleh dan dianjurkan apabila seorang budak ingin memerdekakan dirinya, dimana ia adalah seorang yang jujur dalam tindakannya itu, siap bekerja, dan sanggup membayarkan cicilan yang disyaratkan tuannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[ii].” (Terj. QS. An Nuur: 33)
Di antara hukum-hukum mukatabah
1.     Seorang budak baik laki-laki maupun perempuan menjadi merdeka ketika telah membayarkan cicilan yang telah disepakati dengan tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«الْمُكَاتَبُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ مُكَاتَبَتِهِ دِرْهَمٌ»
“Seorang budak mukatab adalah tetap sebagai budak ketika masih berhutang satu dirham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)
Mafhum hadits ini adalah bahwa ketika seorang budak telah menunaikan pembayarannya, maka ia tidak lagi sebagai budak, bahkan menjadi merdeka.
2.     Seorang budak belum merdeka sampai ia melunasi semua kitabah(cicilan)nya.
3.     Wala’ mukatab diberikan kepada tuannya apabila ia (budak) telah membayarkan cicilannya, berdasarkan hadits “Al Walaa liman a’taqa,” (artinya: wala’ itu diberikan untuk orang yang memerdekakan).
4.     Hendaknya tuannya mengurangi sedikit cicilan yang dibebankan kepada budaknya, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (Terj. QS. An Nuur: 33). Ibnu Abbas berkata tentang ayat ini, “Kurangilan cicilan mereka.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi 10/330, dan lihat Al Mughni 10/342)
Dan bagi tuannya diberikan pilihan dalam hal cara mengurangi, bisa dengan mengurangi langsung, atau mengambil cicilannya lalu menyerahkan kembali cicilan itu kepadanya.
5.     Bayaran yang dibebankan kepada budak dilakukan secara cicilan, baik dua kali atau lebih. Dengan syarat waktu pembayarannya jelas dan jelas pula jumlah bayarannya.
6.     Bagi budak mukatab tidak boleh menikah sampai diizinkan tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهِ، فَهُوَ عَاهِرٌ»
“Siapa saja budak yang menikah tanpa izin tuannya, mka ia pezina.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani)
Demikian pula tidak boleh menjadi menjadi gundik kecuali dengan izinnya.
7.     Diperbolehkan menjual mukatab, dan kitabah itu masih tersisa di tangan pembelinya. Jika budak itu telah membayarkan cicilannya, maka menjadi merdekalah budak itu, dan wala’nya menjadi milik pembelinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah dalam kisah Barirah,
اِشْتَرِيْهَا وَأَعْتِقِيْهَا … فَإِنَّ الْوَلاَءَ لِمَنْ أَعْتَقَ
 “Belilah ia (Barirah) dan merdekakanlah…dst. Sesungguhnya wala’ itu untuk yang memerdekakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza’iriy), Al Maktabatusy Syamilah, dll.


[i] Seperti membuat tulang patah, membuat darah mengalir, atau meninggalkan bekas.

[ii] Untuk mempercepat lunasnya Perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya, atau tuannya mengurangi beban cicilan